ABSTRAK
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanah dan tanaman. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) mencapai 23% dari
jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk
organik juga akan memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi.
Pertumbuhan produksi kelapa sawit semakin meningkat sejalan dengan
jumlah limbah yang dihasilkan. Upaya untuk mengatasi hal tersebut, Pusat
Penelitian Kelapa sawit (PPKS) melakukan teknologi pengomposan dengan
memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai
ekologi dan ekonomi yang tinggi. Bahan yang diperlukan untuk produksi
kompos tersebut adalah Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dan
Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS).
Keunggulan kompos TKKS meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan
bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos TKKS
memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki
struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan
unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat
homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4)
merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam
tanah dan (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim.
Proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit ini tidak menggunakan
bahan cair asam dan bahan kimia lain sehingga tidak terdapat pencemaran
atau polusi, selain itu proses pengomposannya pun tidak menghasilkan
limbah. Proses membuat kompos dimulai dengan pencacahan tandan kosong
sawit terlebih dahulu dengan mesin pencacah kemudian bahan yang telah
dicacah ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar 2,5 m dan tinggi 1 m.
Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair
yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Tumpukan dibiarkan diatas semen
dan dibiarkan di lantai terbuka selama 6 minggu. Kompos dibolak-balik
dengan mesin pembalik. Setelah itu kompos siap untuk dimanfaatkan.
PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan produk yang banyak diminati oleh para investor
karena nilai ekonominya yang cukup tinggi. Saat ini luas areal
perkebunan kelapa sawit di indonesia mencapai 7.077.207 ha atau meningkat 12,95% jika dibandingkan akhir tahun 2005 yang hanya 5.453.817
ha. Volume ekspor minyak sawit pada tahun 2009 mencapai 14.628.000 ton
dengan nilai 10,971 milliar US$. Jumlah tersebut tergolong tinggi bila
dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain yaitu: kakao, 463.632 ton
dengan nilai 924,157 juta US$; kopi, 350.000 ton dengan nilai 630 juta
US$, dan minyak kelapa, 739.923 ton dengan nilai 570,410 juta US$
(DIRJEN Perkebunan, 2009).
Peningkatan produksi pabrik kelapa sawit memiliki konsekuensi berupa
peningkatan limbah kelapa sawit yang dihasilkan. Limbah pabrik kelapa
sawit dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah
cair, dan limbah gas. Salah satu jenis limbah padat yang paling banyak
dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit adalah tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) yaitu sekitar 22 – 23% dari total tandan buah segar (TBS) yang
diolah (Fauzi et al., 2002). Total jumlah limbah TKKS seluruh
Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 4,2 juta ton. Agar
limbah berupa TKKS yang jumlahnya sangat besar ini tidak menimbulkan
permasalahan, maka diperlukan manajemen yang baik untuk mengelolanya.
Salah satu alternatif cara pengelolaan TKKS adalah dengan melakukan
pengomposan. Setelah dikomposkan, limbah berupa TKKS dapat digunakan
sebagai pupuk organik.
Pengomposan merupakan proses dekomposisi bahan organik kompleks yang
dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menjadi bahan organik sederhana
yang kemudian mengalami mineralisasi sehingga menjadi tersedia dalam
bentuk mineral yang dapat diserap oleh tanaman atau ogranisme lain. TKKS
merupakan bahan organik kompleks yang komponen penyusunnya adalah
material yang kaya unsur karbon (Sellulosa 42,7%, Hemisellulosa 27,3%,
lignin 17,2%) (Darnoko et al., 2006. Sellulosa merupakan
polymer dari glukosa, proses degradasi sellulosa menjadi glukosa
(soluble sugars) yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk proses
biosintesis memerlukan waktu yang cukup lama, karena menggunakan
setidaknya tiga jenis enzim: exoglucanase, endoglucanase dan
β-glucosidase (cellulase complex). Hal tersebut menyebabkan keseluruhan
proses dekomposisi TKKS memerlukan waktu yang lama.
Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses pengomposan TKKS akan
menimbulkan permasalahan, karena semakin lama proses pengomposan
berlangsung maka semakin luas area yang dibutuhkan untuk pengomposan,
biaya yang dikeluarkan untuk pengomposan TKKS juga akan semakin besar.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan suatu teknik
pengomposan yang tepat agar proses pengomposan dapat berjalan dengan
optimal.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari
Nigeria. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit
berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan
spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada
kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya,
seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu
memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi et al., 2002).
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit
kelapa sawit yang dibawa dari Mauritus dan Amsterdam dan ditanam di
Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan
dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha
perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang
Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika.
Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya
perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama
berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal
perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit
pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa (Fauzi et al., 2002)
Pada umumnya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3
tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, karena pada umur
tersebut pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit
akan mulai berbuah pada umur 4 sampai enam tahun, dan pada usia tujuh
tahun disebut sebagai periode matang (the mature periode) dimana pada
saat itu tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit
bunch). Pada usia 11 sampai 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami
penurunan produksi, dan biasanya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa
sawit akan mati (Fauzi et al., 2002).
Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Buah sawit memiliki
daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah menjadi
CPO (crude palm oil), sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (palm
kernel). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu
cangkang biji sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar ketel uap
(Fauzi et al., 2002).
Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri
setelah melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau
atau RBDPO (refine, bleached and Deodorized palm oil). Disamping itu
dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat (RBD stearin) dan
untuk produksi minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein terutama
dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD stearin
dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku
industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan
oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. Secara
keseluruhan proses penyulingan minyak sawit dapat menghasilkan 73 %
olein, 21 % stearin, 5 % PFAD (Palm fatty Acid Distillate) dan 0,5 %
buangan (Fauzi et al., 2002).
Proses pengolahan kelapa sawit menghasilkan produk ikutan berupa
limbah kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya limbah kelapa
sawit dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu limbah perkebunan kelapa
sawit dan limbah industri kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit
adalah limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit.
Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah
cair, dan limbah gas (Fauzi et al., 2002).
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu jenis limbah
padat yang dihasilkan dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS ini cukup
besar karena hampir sama dengan jumlah produksi minyak sawit mentah.
Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Komponen
terbesar dari TKKS adalah selulosa (40-60 %), disamping komponen lain
yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30 %), dan lignin
(15-30 %) (Dekker, 1991). Salah satu alternatif pemanfaatan tandan
kosong kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik dengan melakukan
pengomposan (Fauzi et al., 2002).
Pengomposan adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengkonversi
material organik menjadi kompos. Pengomposan dinominasi oleh proses
aerob atau proses yang membutuhkan oksigen. Mikroorganisme memakai O2
untuk mendapatkan energi dan nutrisi dari material organik. Dalam proses
tersebut mereka menghasilkan karbon dioksida (CO2), air, panas, kompos
dan bermacam-macam gas sebagai produk dari dekomposisi material organik.
Berbagai macam transformasi biologis dan produk terjadi dalam proses
pengomposan. Dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme, yang menghuni
bermacam-macam lingkungan mikro. Meskipun mikroorganisme mendekomposisi
beberapa material organik, mereka terus menciptakan senyawa organik
baru dari produk hasil dekomposisi. Unsur seperti nitogen (N) dan sulfur
(S) bergabung dengan unsur lain, berubah secara cepat diantara bentuk
terlarut dan tidak terlarut. Bentuk unsur yang terlarut adalah ditujukan
untuk digunakan oleh mikrobia atau kemungkinan terjadi pencucian.
Proses kimia dan fisika yang lain juga terjadi, mempengaruhi porositas,
kapasitas menahan air dan nutrisi, konduktivitas, pH, dan sifat lain
yang mungkin berpengaruh baik dalam proses pengomposan atau potensi
penggunaan dari produk hasil pengomposan (Stoffella dan Kahn, 2001).
Pengomposan adalah proses aerob, yang berarti dalam prosesnya
membutuhkan udara. Bahkan udara mungkin lebih penting dari makanan bagi
mikroorganisme, pada umumnya dalam tumpukan kompos, udara lebih dahulu
habis daripada makanan. Jika tidak terdapat cukup udara, dekomposisi
terjadi secara anaerob, yang merupakan hal buruk untuk dua alasan.
Pertama, perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob, dan
kedua, beberapa produknya, seperti ammonia dan hidrogen sulfida
menimbulkan bau busuk (Thompson K, 2007)
Oksigen disediakan pada material kompos melalui aerasi. Mekanisme
aerasi dapat sangat efektif, tetapi tidak sempurna. Dalam kenyataan,
sebagian dari proses dekomposisi juga terjadi secara anaerob (tanpa O2).
Proses anaerob berperan pada keseluruhan dekomposisi dari material
kompos. Tetapi, dekomposisi anaerob yang berlebihan tidak diinginkan
selama pengomposan karena menghasilkan degradasi yang tidak sempurna dan
bau (Miller, 1993). Menyediakan kondisi aerasi yang baik meminimalkan
bau yang berhubungan dengan proses anaerob dan menyempurnakan
dekomposisi dari produk degradasi anaerobik parsial seperti asam
organik, yang dapat berperan pada fitotoksisitas ketika kompos digunakan
(Stoffella dan Kahn, 2001).
Kondisi yang dianjurkan untuk pengomposan
Kondisi | Batas yang layak | Batas yang dianjurkan |
Rasio C/N | 20/1 – 40/1 | 25/1 – 30/1 |
Kelembaban | 40 – 65 % (1) | 50 – 60 % |
Konsentrasi O2 | > 5 % | jauh lebih besar dari 5 % |
Ukuran Partikel | 3 – 13 | Bervariasi (2) |
Ph | 5.5 – 9.0 | 6.5 – 80 |
Temperatur | 43 – 66 | 6.5 – 80 |
2 Tergantung pada material yang digunakan, ukuran tumpukan, dan keadaan lingkungan (Rynk et al., 1992).
Dalam sistem pengomposan cepat (high-rate composting) yang diteliti
oleh John R. Snell di Michigan State University, proses pengomposan
dilakukan secara mekanis dalam rektor vertikal. Penelitiannya
menunjukkan bahwa limbah padat pada tanah memberikan hasil pengomposan
terbaik ketika rasio C/N dalam reaktor berada dibawah kisaran 50/1, pH
di dalam reaktor dipertahankan pada kisaran 5.5 – 8.0, dengan kelembaban
diantara 50 – 60%. inokulum mikrobia terbaik yang digunakan sebagai
aktivator berasal dari kompos matang, jumlahnya antara 2 – 10% dari
limbah padat yang dikomposkan. Kompos yang berada di dalam reaktor
diaduk secara terus-menerus agar mendapat udara dengan baik. Udara
ditiupkan ke dalam reaktor untuk menjaga supply oksigen bagi
mikroorganisme. Temperatur dikontrol untuk memaksimalkan pertumbuhan
mikroorganisme. Professor Snell menemukan bahwa proses pengomposan
selesai ketika sudah tidak ada peningkatan temperatur yang signifikan,
tidak ada lagi kandungan nitrogen yang hilang, dan kompos tidak
menghasilkan bau yang menyengat (McKinney, 2004). Sistem high-rate
composting tersebut tidak cocok jika diterapkan dalam skala intustri,
karena biaya yang dibutuhkan untuk proses pengomposan akan sangat besar.
Parameter psikokhemis untuk kompos yang sudah matang sangat
bervariasi. Yang paling penting adalah: pH (7.5 – 7.8); kelembaban (55 –
65%); kandungan residu kering (35 – 45%); kandungan abu (15 – 25%);
total nitrogen ( 2 – 3%); kandungan ammonia (1.5 – 1.8%); kandungan
nitrat (1 – 2%); total fosfor (2.5 – 3%); total potassium (1 – 1.2%);
rasio C/N (20 – 30). Kandungan unsur mikro sebagai berikut: Cu (3–3.6),
Zn (40–50), Co (0.05–0.1), Mn (40–45), dan Fe (100) (Neklyudov, A. D. et al., 2008).
Pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan di
sebagian besar industri sawit, hal pertama yang dilakukan adalah
pencacahan. TKKS dicacah terlebih dahulu menjadi serpihan-serpihan
dengan memakai mesin pencacah. Kemudian bahan yang telah dicacah
ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar sekitar 2,5 meter dan tinggi 1
meter. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah
cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit dengan
kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam dapat memproduksi 60 ton
kompos dari 100 ton tandan kosong sawit yang dihasilkan (Fauzi et al., 2002).
Proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 1,5 – 3 bulan. Kompos
yang sudah matang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :
- Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
- Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
- Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
Pengamatan secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah
turun. Rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60. Setelah proses
pengomposan rasio C/N akan turun dibawah 25. Apabila rasio C/N lebih
tinggi dari 25 proses pengomposan belum sempurna. Pengomposan perlu
dilanjutkan kembali sehingga rasio C/N di bawah 25 (Isroi, 2008).
Salah satu parameter penting dalam mempercepat proses pengomposan
adalah ketersediaan O2. Pada sistem pengomposan, supply O2 dipenuhi
melalui mekanisme aerasi. Aliran udara pada sistem pengomposan perlu
dipertahankan pada 10 dan 30 cf/hari/lb vs muatan awal dari limbah padat
yang dikomposkan. Terlalu sedikit aerasi menyebabkan kondisi anaerob
terjadi, memperlambat proses pengomposan. Terlalu banyak aeasi akan
menyebabkan kompos menjadi kering dan menghambat/menghentikan
metabolisme. Kelembaban optimal pada kompos adalah diantara 55% dan 69%
(McKinney, 2004).
Hal penting yang perlu diketahui dalam setiap proses pengomposan
adalah selalu ada batas maksimal mengenai kecepatan proses pengomposan
suatu material organik. Jika batas maksimal tersebut telah dicapai,
perlakuan apapun yang diberikan terhadap sistem kompos tidak akan dapat
mempercepat laju proses pengomposan.
Kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditi yang mengalami
perkembangan yang terpesat. Sejalan dengan perluasan areal, produksi
juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Pada awal tahun 2001 – 2004,
luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju
3.97% dan 7.25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13.05% per tahun
(Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2005 dalam Isroi dkk.,
2008). Tahun 2010 produksi Crude Palm Oil (CPO) diperkirakan
akan meningkat antara 5% – 6%, sedangkan untuk periode 2010 – 2020,
pertumbuhan produksi diperkirakan berkisar antara 2% – 4% (Susila, 2004
dalam Isroi dkk., 2008).
Kompos TKKS dapat diaplikasikan untuk berbagai tanaman sebagai pupuk
organik, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan pupuk kimia.
Penelitian aplikasi kompos TKKS pada tanaman cabe telah dilakukan di
Kabupaten Tanah Karo pada tahun 2002. Hasilnya menunjukkan bahwa
aplikasi kompos TKKS dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi cabe,
yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk organik
(kontrol) maupun aplikasi pupuk kandang. Aplikasi 0,25 dan 0,50 kg
kompos TKKS dapat meningkatkan hasil cabe berturut-turut hingga 24% dan
45% dibanding perlakuan kontrol, sedangkan aplikasi pupuk kandang hanya
dapat meningkatkan hasil sebesar 7% dibanding perlakuan kontrol (PPKS,
2008).
Penelitian aplikasi kompos TKKS ini selain tanaman cabe, juga
dilakukan penelitian menggunakan tanaman jeruk. Hasil pengamatan
terhadap aplikasi kompos TKKS pada produksi tanaman jeruk selama dua
kali panen menunjukkan bahwa aplikasi kompos berpengaruh terhadap
peningkatan produksi jeruk. Aplikasi kompos TKKS hingga 30 kg dapat
meningkatkan produk jeruk sebesar 49% – 74% dibanding kontrol tanpa
kompos. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jeruk dengan aplikasi
kompos mempunyai kulit buah yang lebih mengkilap dibandingkan jeruk yang
tidak diberi kompos. Hal ini diduga erat kaitannya dengan cukupnya hara
kalium yang diserap tanaman, yang berasal dari kompos TKKS (PPKS, 2008)
Kompos TKKS juga dapat dimanfaatkan sebagai media tumbuh tanaman
hortikultura. Pada penelitian mengenai pemanfaatan kompos TKKS sebagai
media tanpa tanah dan pemupukan pada tanaman pot Spathiphyllum, kombinasi
kompos TKKS dan pupuk kandang digunakan sebagai petak utama dan
frekuensi pemupukan sebagai anak petak. Hasil penelitian menunjukkan
babwa komposisi media berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang
diamati kecuali untuk pori terisi udara dan kadar N daun, sedang
frekuensi pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap semua paramater
yang diamati kecuali terhadap tinggi tanaman mulai umur dua bulan dan
kadar K pada tanaman umur enam bulan. Kombinasi 50% kompos TKKS dan 50%
pupuk kandang adalah media yang baik untuk tanaman Spathiphyllum (Wuryaningsih dan Goenadi, 1995).
Hingga kini, pemerintah tetap konsisten untuk membangun kebun sawit
yang lestari dan aman terhadap lingkungan. Misalnya dalam Undang-Undang
No 18/2004 Tentang Perkebunan pada bab IV Bagian Ketujuh Pelestarian
Fungsi Lingkungan Hidup Pasal 25 disebutkan pada ayat (1) Setiap pelaku
usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan mencegah kerusakannya.
(2) Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.
(2) Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.
KESIMPULAN
Bahwa dalam berbagai penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa limbah kelapa sawit dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Antara lain yaitu Tandan Kosong
Kelapa Sawit (TKKS) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang
memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman.
Tandan kosong kelapa sawit mencapai 23% dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik juga akan memberikan manfaat lain darisisiekonomi.
Pupuk kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh micro-organisme.
Pada prinsipnya pengomposan TKSS untuk menurunkan nisbah C / N yang terkandung dalam tandan agar terkandung dalam tandan agar mendekati nisbah C / N tanah. Nisbah C / N yang mendekati akan mudah diserap oleh tanaman.
Kompos TKKS juga dapat dimanfaat sebagai media tumbuh tanaman hortikultura. Pada penelitian mengenai pemanfaatan kompos TKKS sebagai media tanpa tanah dan pemupukan pada tanaman pot Spathiphyllum, kombinasi kompos TKKS dan pupuk kandang digunakan sebagai petak utama dan frekuensi pemupukan sebagai anak petak. Hasil penelitian menunjukkan babwa komposisi media berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati kecuali untuk pori terisi udara dan kadar N daun, sedang frekuensi pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap semua paramater yang diamati kecuali terhadap tinggi tanaman mulai umur dua bulan dan kadar K pada tanaman umur enam bulan. Kombinasi 50% kompos TKKS dan 50% pupuk kandang adalah media yang baik untuk tanaman Spathiphyllum.
Tandan kosong kelapa sawit mencapai 23% dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik juga akan memberikan manfaat lain darisisiekonomi.
Pupuk kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh micro-organisme.
Pada prinsipnya pengomposan TKSS untuk menurunkan nisbah C / N yang terkandung dalam tandan agar terkandung dalam tandan agar mendekati nisbah C / N tanah. Nisbah C / N yang mendekati akan mudah diserap oleh tanaman.
Kompos TKKS juga dapat dimanfaat sebagai media tumbuh tanaman hortikultura. Pada penelitian mengenai pemanfaatan kompos TKKS sebagai media tanpa tanah dan pemupukan pada tanaman pot Spathiphyllum, kombinasi kompos TKKS dan pupuk kandang digunakan sebagai petak utama dan frekuensi pemupukan sebagai anak petak. Hasil penelitian menunjukkan babwa komposisi media berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati kecuali untuk pori terisi udara dan kadar N daun, sedang frekuensi pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap semua paramater yang diamati kecuali terhadap tinggi tanaman mulai umur dua bulan dan kadar K pada tanaman umur enam bulan. Kombinasi 50% kompos TKKS dan 50% pupuk kandang adalah media yang baik untuk tanaman Spathiphyllum.
Terima kasih,,
BalasHapusini sangat membantu